INSKA NEWS,Kota Bekasi – Asisi Basuki, pemilik Band Rock Lawang Pitu, menggelar diskusi publik mengenai royalti musik yang kini tengah menjadi isu hangat. Acara tersebut berlangsung di ACC Studio, Jalan Polu Sirih Barat Raya, RT. 001 RW. 020, Jakarta Setia, Kota Bekasi, pada Minggu (09/03/2025).
Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah musisi ternama dan tokoh penting dalam industri musik, seperti Once Mekel, yang baru-baru ini dilantik sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, serta Edwin Marshal Syarif, gitaris legendaris dari Band Coklat. Selain mereka, hadir juga Trison Manurung, vokalis Band Rock Lawang Pitu dan Roxx, serta Mila Rosa, Sekretaris PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia), yang merupakan organisasi profesi artis tertua di Indonesia. Juga hadir Johnny William Maukar dari PAPPRI, serta Adi Adrian, Presiden Direktur Wahana Musik Indonesia (WAMI), yang dikenal pula sebagai Adi Kla Project.
WAMI adalah lembaga manajemen kolektif yang bertugas mengelola penggunaan karya cipta lagu dan musik milik anggotanya, khususnya dalam hal royalti atas Hak Pengumuman (Performing Rights). Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan Dharma Oratmangun, Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang diberi kewenangan negara untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti musik. LMKN juga berperan dalam pengelolaan hak ekonomi pencipta dan pemegang hak cipta.
LMKN, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, memiliki kewenangan untuk mengawasi dan mengatur pembayaran royalti musik di Indonesia, serta memberikan izin lisensi atas penggunaan karya cipta lagu dan musik.
Selain para musisi dan pimpinan organisasi LMK dan LMKN, diskusi ini juga dihadiri oleh Roberto, Ketua Umum Ikatan Manager Artis Indonesia (Imarindo) periode 2022-2027, serta Syamsi Hari, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dan Amin Abdullah, Direktur Industri Kreatif Musik, Film, dan Animasi di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Once Mekel, yang juga anggota DPR RI, dalam kesempatan tersebut menyampaikan pentingnya penyelesaian masalah ekosistem musik secara bijaksana. “Tujuan kita bernegara adalah tunduk pada aturan atau hukum yang telah disepakati bersama, oleh karena itu mari kita selesaikan permasalahan ekosistem musik dengan kepala dingin. Semua punya hak, pencipta dan penyanyi tidak perlu ribut, semuanya harus dilindungi hak-haknya,” ujarnya. Once juga menambahkan, “Dalam UU Hak Cipta ada hukum, ada sastra, ada drama, namun ini semua masih dalam naskah akademik sebagai bahan draf undang-undang.”
Diskusi semakin memanas ketika Profesor Frengky mempertanyakan penyelenggara acara pemerintah yang tidak mencantumkan pembayaran royalti dalam RAB (Rancangan Anggaran Biaya). “Masyarakat masih awam terkait istilah royalti yang harus dibayar ketika lagu diputar di ranah publik untuk kepentingan komersial. Kami butuh akademisi yang mampu menjelaskan kepada pemerintah mengenai apa itu royalti performing right dan mechanical right,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan kekhawatirannya sebagai penyelenggara kegiatan pemerintah yang memutar musik daerah, seperti lagu khas Papua, tanpa ada anggaran untuk pembayaran royalti. “Lalu dari mana kami membayar royalti tersebut?” tanyanya.
Pertanyaan ini dijawab tegas oleh Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, yang menegaskan bahwa pembayaran royalti seharusnya sudah dicantumkan dalam RAB. “Tidak ada alasan bagi penyelenggara atau promotor musik, baik perorangan maupun badan hukum, untuk tidak membayar royalti. Ini adalah perintah dari Undang-Undang No. 28 Tahun 2014. Partai Gerindra, Golkar, dan PDIP saja sudah membayar kepada kami,” tegasnya.
Diskusi ditutup dengan pemaparan data terkait promotor atau pengguna musik komersial yang sudah membayar royalti dan mereka yang belum atau tidak mau membayar kepada LMKN.
(Yon)