Mengabdi dalam Sunyi: Keteguhan I Ketut Susila Menjaga Asa SMK Nasional Tabanan

INSKA NEWS

INSKA NEWS, Tabanan, Bali — Di sudut tenang Kabupaten Tabanan, berdiri sebuah sekolah kejuruan yang nyaris terlupakan oleh hiruk-pikuk zaman. SMK Nasional Tabanan, yang berdiri sejak 1975 dan pernah mencetak banyak prestasi, kini hanya dihuni belasan siswa. Suasana sepi menyelimuti ruang-ruang kelas, menyisakan secercah harapan yang digenggam erat oleh satu sosok: I Ketut Susila.

Pria paruh baya ini kini menjabat sebagai Kepala Sekolah SMK Nasional Tabanan. Setelah pensiun dari status pegawai negeri sipil, I Ketut tak memilih beristirahat. Ia justru kembali ke dunia pendidikan, mengabdikan diri di sekolah yang ia sebut sebagai “bagian dari hidupnya”.

“Sekolah ini dulu kebanggaan. Ramai, diminati anak-anak muda Tabanan. Tapi sekarang… hanya belasan siswa yang tersisa,” ujar Ketut Susila lirih, memandangi bangunan sekolah yang pelan-pelan ditelan waktu.

Ketut menyadari, zaman telah berubah. Minat generasi muda terhadap sekolah kejuruan menurun. Lebih dari itu, perhatian pemerintah terhadap sekolah swasta kecil seperti SMK Nasional kian memudar.

Ia menyebutkan, kebijakan sekolah negeri yang tetap menambah daya tampung siswa meski melanggar aturan, turut memperparah keadaan. Bahkan, adanya “surat sakti” dari Dinas Pendidikan Provinsi Bali yang menarik kembali siswa yang sudah mendaftar ke SMK Nasional, dinilainya sebagai bentuk ketidakadilan.

Harapan sempat datang dari seorang anggota DPD asal Bali yang berjanji membantu menyelesaikan pembayaran ijazah siswa yang tertahan karena tunggakan biaya. Namun, janji tinggal janji.

Di tengah tekanan tersebut, SMK Nasional tetap berdiri—bagai pohon tua yang perlahan kehilangan daun, namun enggan tumbang. Bersama beberapa guru, I Ketut Susila terus menjaga denyut kehidupan sekolah ini. Setiap pagi, ia datang lebih awal, membersihkan ruangan, memeriksa kelas, dan menyapa satu per satu siswa yang masih bertahan.

“Mereka datang dari keluarga sederhana. Ada yang tidak bisa bayar SPP, bahkan ada yang ijazahnya tertahan. Hati saya sedih, tapi sekolah juga harus bertahan,” katanya dengan suara bergetar.

Harapannya sederhana: perhatian pemerintah. Ia tak meminta banyak, cukup bantuan untuk operasional dasar dan pencetakan ijazah siswa. “Ijazah itu tiket masa depan. Kalau tertahan karena biaya, bagaimana mereka akan melangkah?” ujar Ketut penuh.(mmn)

Also Read

Tags

Ads - Before Footer