INSKA NEWS,Blitar – Tahun baru Islam 1 Muharram kembali dimaknai secara mendalam oleh kalangan spiritual Jawa, khususnya di Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat, Srengat, Blitar. Tradisi ini merupakan bagian dari napak tilas spiritual yang berakar pada sejarah panjang sejak masa pemerintahan Sultan Agung Mataram (1613–1646), yang dikenal dengan pendekatan kebudayaan dan spiritualnya.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa hubungan antara Sultan Agung dan keturunan Sunan Tembayat sempat mengalami ketegangan. Hal ini terjadi setelah kegagalan ekspedisi militer Mataram ke Batavia pada 1628–1629. Kekecewaan atas kekalahan tersebut membuat sebagian keturunan Sunan Tembayat menarik diri dari kekuasaan dan berlindung di bawah Giri Kedaton.
Sebagai langkah rekonsiliasi, pada 1632 Sultan Agung memerintahkan renovasi makam Sunan Tembayat di Klaten. Prosesi pembangunan dilakukan secara simbolik oleh sekitar 300.000 warga Mataram yang duduk bersila, menyampaikan bahan bangunan secara estafet dari keraton hingga lokasi makam. Aksi ini menjadi simbol pemulihan spiritual dan penghormatan terhadap ulama besar tersebut.
Pada masa yang sama, Sultan Agung juga merumuskan Kalender Jawa, sebuah sistem penanggalan yang menggabungkan unsur kalender Hijriyah Islam dan Saka Hindu-Jawa. Kalender ini menggunakan nama-nama bulan dan hari dalam bahasa Arab, namun tetap mempertahankan siklus pasaran dan penanda waktu khas Jawa.
Pemangku Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat Blitar, Gus Hairi Mustofa—yang juga merupakan keturunan trah Tambayat—menyebut Kalender Jawa sebagai warisan spiritual dan budaya yang menyatukan nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.
“Kalender Jawa warisan Sultan Agung bukan sekadar sistem waktu, tapi jalan tengah antara nalar budaya dan syariat. Ini bukti bahwa Islam Nusantara bisa merangkul kearifan lokal tanpa meninggalkan esensi agama,” ujar Gus Hairi dalam wawancara, Rabu (26/6/2025).
Menurutnya, sistem kalender ini turut memperkuat identitas spiritual masyarakat pesantren serta menyatu dengan ritme kehidupan desa yang lekat dengan tradisi dan alam.
Sebagai bagian dari peringatan 1 Suro atau 1 Muharram, Padhepokan Pusaka Sunan Tembayat secara rutin menggelar ziarah spiritual ke makam Sunan Tembayat di Klaten, Jawa Tengah. Rombongan dari Blitar melakukan perjalanan sebagai bentuk silaturahmi spiritual dengan para leluhur.
“1 Muharram itu bukan euforia, tapi momentum hijrah batin. Kita belajar dari jejak leluhur, terutama Sunan Tembayat, bahwa perjuangan menebar cahaya Islam harus sabar, teguh, dan tetap cinta damai,” pungkasnya.
Tradisi ini menjadi pengingat bahwa spiritualitas Islam di Nusantara tumbuh melalui pendekatan budaya yang harmonis, reflektif, dan berpijak pada nilai-nilai lokal.(Sastra)