Industri Tekstil Kian Terpuruk, APSyFI Soroti Gagalnya Deteksi Dini Pemerintah

INSKA NEWS

INSKA NEWS, Jakarta, 6 Desember 2025. Industri tekstil nasional kembali diterpa gelombang penutupan pabrik sepanjang 2025. Di tengah melemahnya permintaan global dan beratnya persaingan dengan produk impor murah, para pelaku industri kini mengungkapkan kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai gagal melakukan deteksi dini atas krisis berlarut-larut di sektor ini.

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menyebutkan bahwa penutupan pabrik yang kian masif merupakan indikator kuat bahwa Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) yang dikelola Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak berfungsi optimal sebagaimana mestinya.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, mengungkapkan pihaknya mengantongi sejumlah data penutupan pabrik, meski data tersebut baru berasal dari para anggota asosiasi. Namun ia menekankan bahwa gambaran di lapangan jauh lebih memprihatinkan. “Kalau dilihat secara keseluruhan, gelombang penutupan pabrik sampai pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi pada beberapa perusahaan besar, bukan hanya skala kecil,” ujarnya.

Beberapa nama besar di industri tekstil nasional ikut terseret badai keterpurukan tersebut. Sritex, yang pernah menjadi ikon industri tekstil Indonesia, hingga Sejahtera Bintang Abadi Textile dan Asia Pacific Fibers di Karawang, menjadi contoh nyata perusahaan yang harus menempuh langkah ekstrem untuk bertahan.

Farhan menilai gejala krisis sebenarnya sudah terlihat sejak dua hingga tiga tahun terakhir. Namun, menurutnya, tidak ada langkah antisipatif berarti dari pemerintah, padahal seluruh perusahaan diwajibkan melaporkan kondisi produksi, utilitas, hingga ekspor melalui SIINas. “Harusnya pemerintah bisa membaca tren penurunan utilitas pabrik. Tapi yang terjadi, justru seperti tidak ada mitigasi,” tambahnya.

Gelombang PHK yang menyusul penutupan pabrik menjadi pukulan telak bagi ribuan pekerja dan keluarga yang menggantungkan hidup pada industri tekstil. Banyak buruh kini harus mencari pekerjaan baru dalam kondisi pasar kerja yang kian sempit. Di beberapa daerah, komunitas pekerja tekstil bahkan mulai membentuk kelompok solidaritas untuk saling membantu sesama pekerja yang terdampak.

Dari sisi pelaku usaha, mereka berharap pemerintah lebih proaktif mendengarkan keluhan dan kebutuhan industri yang selama ini menjadi penyumbang besar devisa serta penyerapan tenaga kerja. Industri tekstil yang dahulu menjadi salah satu tulang punggung manufaktur nasional kini berada dalam situasi yang mengkhawatirkan.

Para pengamat menilai, langkah-langkah strategis seperti pembatasan impor, insentif energi, hingga kebijakan hilirisasi yang lebih terarah sangat penting untuk memulihkan daya saing industri. Namun untuk jangka pendek, pelaku usaha menuntut adanya kebijakan darurat yang benar-benar mampu mengurangi beban operasional pabrik agar gelombang penutupan tidak semakin meluas.

Krisis berkepanjangan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera turun tangan lebih serius. Industri tekstil tidak hanya tentang angka ekspor atau utilitas pabrik, tetapi juga tentang nasib jutaan pekerja dan keberlangsungan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia. Tanpa perubahan kebijakan yang cepat dan tepat, kekhawatiran akan runtuhnya industri ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan ancaman nyata.

(Dadan)

Also Read

Tags