INSKA NEWS,Jakarta — Direktur Eksekutif ToBe Institute, Mochamad Imamudinussalam S.I.Kom angkat bicara menanggapi gelombang penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto. Menurutnya, pandangan yang menolak penghargaan tersebut perlu ditimbang ulang secara objektif agar tidak terjebak pada penilaian sepihak terhadap sejarah bangsa.
“Kita harus membaca sejarah dengan kepala dingin dan perspektif utuh. Soeharto adalah bagian penting dari perjalanan republik ini, dengan jasa yang nyata dan kontribusi besar terhadap menjaga kedaulatan bangsa dari agresi militer dan juga terhadap pembangunan nasional. Menolak pemberian gelar hanya karena menyoroti sisi gelap masa pemerintahannya adalah bentuk penyederhanaan sejarah,” ujar Direktur Eksekutif ToBe Instutute yang biasa disapa Imamuddin di Jakarta, hari ini.
Imamuddin menjelaskan bahwa konteks kepemimpinan Soeharto tidak bisa dilepaskan dari situasi geopolitik yang penuh ancaman pada masa itu. Indonesia baru saja keluar dari konflik ideologis dan menghadapi risiko disintegrasi nasional. Pasca kemerdekaan Soeharto yang juga dekat dengan Jenderal Sudirman mempertahankan wilayah Yogyakarta, memimpin operasi penumpasan komunis G30S/PKI, dan keberhasilan Supersemar. Kebijakan-kebijakan yang dianggap keras harus dilihat dalam bingkai keamanan negara, bukan semata dari kacamata masa kini yang damai.
“Pelanggaran HAM memang harus menjadi pelajaran sejarah, tetapi tanggung jawab moral dan hukum tidak otomatis meniadakan jasa seorang tokoh terhadap bangsa. Kita tidak bisa menulis ulang sejarah dengan menghapus kontribusi yang terbukti mengangkat Indonesia dari krisis menuju stabilitas. Soeharto juga dekat dengan jenderal Sudirman, ditugaskan mempertahankan Yogyakarta dari agresi. Apalagi beliau adalah Presiden kedua RI” tegasnya.
Terkait tudingan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme di masa Orde Baru, imamuddin menilai hal itu merupakan fenomena struktural yang terjadi di banyak negara berkembang. Ia menekankan bahwa di balik kekurangan tersebut, terdapat capaian luar biasa yang membentuk fondasi kemajuan bangsa hingga hari ini.
“Program seperti swasembada pangan, pembangunan infrastruktur desa, teknologi, peningkatan kesejahteraan petani, hingga kebijakan ekonomi yang pro-rakyat. Kita tidak boleh menutup mata,” jelasnya.
Ia juga menepis anggapan bahwa pemberian gelar pahlawan merupakan bentuk pemutihan sejarah atau legitimasi politik. Menurutnya, penghargaan kenegaraan tidak berarti menghapus kritik, melainkan mengakui kontribusi luar biasa seseorang terhadap bangsa dan negara.
“Gelar pahlawan bukan penghapus dosa sejarah, tapi pengakuan atas jasa besar yang telah memberi arah bagi perjalanan Indonesia. Kalau standar penilaian kita adalah kesempurnaan moral, maka tak seorang pun akan layak disebut pahlawan,” kata Imam.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa mekanisme pemberian gelar Pahlawan Nasional sudah diatur dengan ketat, sudah ada tim, melalui proses verifikasi dan pertimbangan Dewan Gelar serta Kementerian Sosial. Karena itu, tudingan bahwa prosesnya tertutup atau sarat kepentingan politik dinilai tidak berdasar.
“Usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional itu sudah berkali-kali diusulkan, tahun 2008, 2010, 2015, dan 2016. Dan sebagian besar suara DPR dan para tokoh juga setuju. Jadi mau apalagi” ujarnya menegaskan.
Di akhir pernyataannya, Imamuddin menekankan pentingnya melihat sejarah secara adil, bukan emosional.

“Mengakui jasa bukan berarti melupakan luka. Kita harus belajar menimbang sejarah dengan sikap dewasa: menghargai kontribusi tanpa menghapus kritik, dan mengingat penderitaan tanpa menolak prestasi. Bangsa besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya secara utuh,” tutup M. Imamuddinussalam, Direktur Eksekutif ToBe Institute.(Mmn/tim)

















